Antara Kasih Sayang dan Ketegasan: Refleksi Pemerhati Pendidikan atas Kasus Guru di Lebak

banner 468x60

CIREBONFOLK.COM – Antara Kasih Sayang dan Ketegasan: Refleksi Pemerhati Pendidikan atas Kasus Guru di Lebak | Pemerhati pendidikan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Akmala Sabila, Dr. KH. Muhamad Habib Khaerussani, M.Pd., menyoroti peristiwa di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, yang sempat viral karena seorang kepala sekolah menampar siswanya yang kedapatan merokok di area sekolah.

Menurut Habib, peristiwa itu tak bisa dilihat hitam putih. Ia menilai, di balik tamparan seorang guru, bisa tersimpan niat mendidik yang lahir dari rasa tanggung jawab moral terhadap masa depan siswanya.

banner 336x280

“Saya tidak membenarkan kekerasan. Tapi kita juga jangan terburu-buru menuduh setiap tindakan keras sebagai bentuk kekerasan fisik. Kadang, tamparan itu bukan karena benci, tapi karena cinta yang kecewa,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (17/10/2025).

Sekolah Bukan Sekadar Tempat Belajar, Tapi Laboratorium Moral
Habib menegaskan, sekolah sejatinya bukan hanya ruang transfer ilmu pengetahuan, tetapi laboratorium moral tempat anak belajar membedakan benar dan salah.

Ia menilai, tindakan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Dini Pitri, yang menegur siswa berinisial ILP karena merokok, sebenarnya lahir dari keinginan menanamkan kedisiplinan dan tanggung jawab. Hanya saja, cara penyampaiannya perlu terus disempurnakan agar tidak menimbulkan salah tafsir.

“Guru itu bukan sekadar pengajar, tapi murabbi — pembimbing jiwa. Menegur murid yang melanggar aturan adalah bagian dari mendidik karakter. Hanya saja, zaman sekarang sensitif. Satu tamparan bisa viral, satu kata ‘goblok’ bisa dipotong dari konteks,” katanya.

Antara Ketegasan dan Kekerasan
Menurutnya, publik perlu membedakan antara kekerasan dan ketegasan.
Kekerasan lahir dari amarah, sementara ketegasan lahir dari kasih sayang yang ingin memperbaiki.

“Guru menegur murid yang salah bukan karena ingin mempermalukan, tapi karena ingin menyelamatkan masa depannya. Namun, guru pun manusia. Kadang khilaf, kadang lelah. Maka refleksi dan mediasi sangat penting,” tutur Habib.

Ia juga mengapresiasi langkah Gubernur Banten Andra Soni yang mempertemukan Kepala Sekolah dan siswanya untuk berdamai. Menurutnya, proses saling memaafkan itu justru menjadi bagian penting dari pendidikan karakter — bagi murid maupun guru.

Pendidikan Harus Seimbang: Cinta dan Ketegasan
Buya Habib melihat, kasus di SMAN 1 Cimarga mencerminkan tantangan besar dunia pendidikan Indonesia: menjaga keseimbangan antara pendekatan humanis dan penegakan disiplin.

“Kita ingin pendidikan yang ramah anak, tapi juga tetap berwibawa. Jangan sampai sekolah kehilangan otoritasnya karena takut salah menegur. Namun cara menegur juga harus penuh hikmah — bukan tangan yang menampar, tapi kata yang menampar kesadaran,” jelasnya.

Menurutnya, guru perlu didukung untuk mendidik dengan hati, sementara murid juga harus belajar menghargai ketegasan sebagai bagian dari proses tumbuh.

Habib menilai, penyelesaian damai antara Kepala Sekolah dan siswa di Lebak menjadi contoh baik bahwa pendidikan tidak selalu tentang siapa yang salah, tetapi bagaimana memperbaiki yang salah dengan hati.

“Pendidikan sejati adalah keseimbangan antara cinta dan ketegasan. Di tangan guru yang bijak, bahkan tamparan pun bisa menjadi pelukan — pelukan yang membangunkan kesadaran, bukan menyakiti perasaan,” pungkasnya. (*)

banner 336x280